BERITA

12
Jul 2011

Banyak orang tak menyadari, jargon pribumisasi Islam yang di kampanyekan mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejajar dengan teologi pembebasan yang berkembang luas di Amerika Latin. Keduanya sama-sama bercorak teologi sosial, teologi yang menekankan pada pemecahan persoalan-persoalan kemanusiaan.

 

Hal ini terungkap dalam seminar terbatas yang diselenggarakan Center for Islam and Southeast Asian Studies - The Wahid Institute (CISEAS WI) di Jakarta, Senin (11/07). Seminar bertajuk "Islam dan Teologi Sosial di Asia Tenggara: Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Syed Hussein Alatas, dan Faisal Haji Othman" ini menghadirkan Prof. DR. Azhar Ibrahim Alwee dari National University of Singapore.

 

Menurut Azhar, salah satu problem umat Islam saat ini adalah bahwa pemahaman masalah teologi merupakan sesuatu yang tak bisa disentuh sembarang orang. Ia hanya boleh dibicarakan oleh kalangan terbatas para teolog yang memahami teks. Ini menjadikan teologi tak pernah bisa menyentuh persoalan riil umat Islam. "Publik tidak punya kesempatan berteologi karena dianggap tidak memiliki  kemampuan" jelasnya.

 

Pemahaman seperti ini menurut Azhar adalah tipikal pemahaman ortodok, sementara  saat ini masyarakat sudah jauh berubah begitupula tantangannya. Pandangan ortodoks ini juga meyakini bahwa masalah teologi adalah sesuatu yang final dan tidak bisa ditambah atau dikurangi."Karena itu dari dulu hingga sekarang, masalah yang dibicarakan juga itu-itu saja" lanjut Azhar.

 

Dengan latar masalah tersebut Azhar melakukan riset pemikiran beberapa tokoh intelektual muslim di Indonesia dan Malaysia, guna mencari pemecahan problem tersebut. Menurut Azhar, diperlukan model teologi baru dimana publik bisa terlibat di dalamnya. Dia meyakini bahwa pemikiran beberapa intelektual muslim di Asia Tenggara bisa memberi jawaban.



Dari riset yang dia lakukan selama beberapa tahun, Azhar menemukan para pemikir seperti Gus Dur, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Syed Husin Alatas dan Faizal usman dari Malaysia memiliki benang merah dengan teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin. Keempat tokoh ini juga memiliki keunikan sebagai representasi pemikiran khas Asia Tenggara.

 

Dalam berbagai kiprah dan pemikirannya, keempat tokoh ini terbukti mampu mengangkat masalah-masalah teologi dibicarakan di ruang public. Gus Dur misalnya mampu menampilkan teologi sebagai wacana dan gerakan guna merespon persoalan-persoalan kemanusiaan. Ia mempu mendorong keberpihakan teologi terhadap masalah kemiskinan, diskriminasi dan toleransi. "Gus Dur mempu menciptakan wacana teologi yang berpijak kepada realitas sosial, nilai-nilai lokal bahkan berempati terhadap nuansa kultural setempat" jelas Azhar.

 

Pribumisasi Islam Gus Dur bagi Azhar contoh yang baik bagaimana dialog antara nilai-nilai lokal dengan Islam kosmopolitan. Dalam pandangan Azhar, apa yang ditawarkan Gus Dur dapat dikonsepsikan sebagai teologi sosial di mana masalah teologi tidak hanya menjadi domain para teolog, melainkan juga publik. Selain itu dengan teologi sosial Gus Dur mampu mendesak persoalan-persoalan sosial sebagai bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui kacamata teologi.

 

Dari amatan Azhar terhadap empat pemikir di atas, dia menyimpulkan bahwa teologi sosial setidaknya harus memiliki tujuh prasyarat: keberpihakan, keberpijakan pada realitas, empati pada nilai lokal, universalitas, kemandirian, keadilan dan pemberdayaan.



Meskipun teologi sosial sudah banyak diterima publik, Azhar melihat tentangan dari berbagai kalangan juga masih ada, baik di Indonesia maupun Malaysia. Dan tentangan di Malaysia lebih berat karena publik di sana belum terbiasa dengan wacana-wacana baru, terlebih menyangkut teologi. "Umumnya umat Islam di sana menerima teologi sudah final. Negara juga bertindak sebagai penjaga teologi. Karena itu lebih sulitm" keluhnya.

 

Ia mencontohkan. buku-buku yang membicarakan wacana keislaman dari Indonesia sulit masuk, terlbih kalau itu ditulis Gus Dura tau Cak Nur. Pemerintah juga mengontrol penyusunan kurikulum dan silabus di perguruan tinggi negeri seperti Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Dosen-dosen yang dinilai punya emikiran progresif akan disingkirkan. "Sementara mereka yang konservatif lebih disukai," jelasnya.

 

Meski begitu, ia tetap optimis, tawarannya tentang teologi sosial ini lambat laun akan diterima. Hal ini terlihat dari adanya kelompok-kelompok kecil mahasiswa yang mulai membaca buku-buku Gus Dur dan Cak Nur. Selain itu, tulisan-tulisan baik dalam bentuk buku maupun jurnal tentang tema keislaman kontemporer juga mulai banyak diterbitkan. "Potensi seperti ini harus didorong terus melalui berbagai strategi". [msa]

13711
 

Add comment


Security code
Refresh

Terbaru

Populer