20
Nov 2014

Kampanye untuk Pelajar Se-Jabodetabek

Ratusan pelajar dari Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 5 Jakarta mengikuti permainan "Negeri Kompak" yang bermanfaat untuk meningkatkan rasa toleransi serta mencegah aksi tawuran antar pelajar yang marak terjadi di Ibu Kota.



"Sekolah ini yang kelima, lewat permainan ini kami ingin menyebarkan karakter positif agar pelajar bisa bersikap terbuka, kritis dan toleran," kata Kepala Program Wahid Institute, Alamsyah M Djafar di Jakarta, Kamis (20/11).



Menurut dia, permainan yang diselenggarakan oleh Wahid Institute bersama Kedutaan Besar Australia ini merupakan model pendekatan baru dalam cara belajar khususnya bagi siswa sekolah.



Alamsyah menjelaskan sistem permainannya seperti bermain monopoli namun dengan sejumlah sentuhan modifikasi yang lebih memberikan wawasan edukasi.


"Jalurnya kita buat lima, itu penjabaran dari sila dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika," katanya.



Ia mengatakan setiap pemain yang melemparkan dadu akan menduduki salah satu kotak dari lima jalur dalam papan permainan Negeri Kompak.



Di setiap kotak, lanjut dia, ada tugas yang harus dikerjakan oleh setiap pelajar.



"Misalnya mengucapkan, tolak pemecah belah bangsa, toleransi gue banget," katanya.



Ia mengatakan setiap tugas akan memuat hal-hal positif dan akan diulang-ulang.



"Lewat setiap kalimat yang mereka ucapkan dan tugas yang dijalani, semoga tercipta kesadaran positif akan pentingnya toleransi dari setiap siswa," kata Alamsyah.

 

Sumber : republika.co.id | Kamis, 20 November 2014, 15:15 WIB

 

Foto : WI

 
05
Nov 2014

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono telah mengakhiri pemerintahannya dan kini digantikan Presiden Joko Widodo. Bersamaan dengan itu, berbagai masalah lama diwariskan kepada pemerintahan baru, termasuk kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

 

Bagaimana petanya?

 

”Kami masih mengungsi. Rencana Presiden SBY memulangkan kami sudah mentok,” kata Iklil Almilal (43), juru bicara pengungsi Syiah asal Sampang, di Rumah Susun Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur.

 

Saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (22/10), Iklil bercerita, dulu betapa girang perwakilan pengungsi saat diterima SBY di rumahnya di Cikeas, Bogor, Juli 2013.

 

Presiden berjanji memulangkan mereka ke Sampang, dan dibentuk tim rekonsiliasi yang dipimpin Rektor Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Abd A’la. ”Pak SBY bilang, insya Allah, bapak-bapak akan kembali ke kampung Lebaran nanti,” kata Iklil menirukan ucapan Presiden SBY.

 

Namun, hingga masa jabatan Presiden SBY berakhir 20 Oktober 2014, janji itu kandas. Sebanyak 73 keluarga (173 jiwa) kelompok Syiah masih mengungsi. Tak bisa andalkan bantuan makan Rp 709.000 per jiwa per bulan, mereka berjibaku bekerja serabutan. ”Kami kecewa tak bisa pulang kampung untuk bertani dan beternak seperti dulu,” kata Iklil.

 

Kelompok Syiah terusir dari Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang, akibat serangan massa, 26 Agustus 2012. Kekerasan itu menewaskan satu orang, melukai 10 orang, dan 46 rumah terbakar. Jika dihitung sejak tinggal sementara di GOR Sampang sebelum dipindah ke Rumah Susun Jemundo, dua tahun dua bulan sudah mereka mengungsi.

 

Terbengkalai


Kisah sedih pengungsi Syiah salah satu dari daftar kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia yang terbengkalai selama pemerintahan Presiden SBY.

 

Daftar lain, kelompok Ahmadiyah yang sudah hampir delapan tahun terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat. Begitu pula penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat (berlangsung 5 tahun); izin pendirian masjid di Baluplat, Nusa Tenggara Timur (3 tahun); dan penyegelan Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia di Bekasi (2 tahun).

 

Saat bersamaan, marak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terutama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan The Wahid Institute, ada 121 peristiwa pada 2009. Jumlah ini meningkat jadi 184 peristiwa tahun 2010, 267 peristiwa (2011), dan 278 peristiwa (2012). Tahun 2013, jumlahnya sedikit menurun jadi 245 peristiwa, tetapi kasusnya kian menyebar.

 

Laporan serupa disampaikan Setara Institute, Maarif Institute, Human Rights Watch, Human Rights Working Group di Indonesia, dan Litbang Kementerian Agama RI. Pelanggaran itu dilakukan aparat negara dan masyarakat. Bentuknya beragam: serangan terhadap kelompok berbeda, pelarangan terhadap aliran yang dicap sesat, pelarangan/penyegelan rumah ibadah, atau kriminalisasi atas nama agama.

 

Mengapa kondisi itu bisa terjadi pada masa pemerintahan Presiden SBY? Menurut Program Officer The Wahid Institute Alamsyah M Dja’far, pemerintahan saat itu tidak serius menjalankan Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Pekerjaan rumah


Berbagai kasus yang terbengkalai itu kini menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi meminta Jokowi menangani berbagai kasus pelanggaran, khususnya pengungsi dan eksekusi putusan hukum terkait rumah ibadah.

 

Presiden Jokowi telah memilih kembali Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama dalam kabinetnya. Seusai pelantikan, Selasa (29/10), Lukman berjanji menyelesaikan kasus-kasus lama yang terbengkalai itu. ”Kami terus mencari solusi. Karena kompleksitas masalahnya, kami harus uraikan secara utuh. Mudah-mudahan ada jalan keluar,” katanya. (Ilham Khoiri)

Sumber : Kompas.com | Senin, 3 November 2014 | 09:17 WIB

 
17
Okt 2014

Pelajar bermain Negeri Kompak

 

JAKARTA - The Wahid Institute dan Direct Aid Program Kedutaan Besar Australia akhirnya secara resmi memperkenalkan papan permainan (board game) Negeri Kompak ke publik. Ini ditandai dengan dimulainya permainan tersebut di SMA Negeri 6 Tangerang Selatan pada Jumat (17/10) pagi.

 

Dari rangkaian kampanye tahap awal, dari seluruh Indonesia, 120 pelajar SMAN 6 Tangerang Selatan merupakan sekolah pertama yang mendapat kehormatan untuk memainkan Negeri Kompak.

 

Dalam pemainan tersebut, 120 pelajar terpilih dibagi dalam tiga kelas, masing-masing 40 orang. Dengan dipandu dua fasilitator dari The Wahid Institute, para pelajar terlihat sangat bersemangat memainkan board game yang diciptakan sebagai wahana kampanye ke-bhinnekaan.

 

“Terlihat mereka sangat menikmari permainan Negeri Kompak ini. Apalagi, di dalamnya bukan hanya ada unsur fun dan kompetisi, tapi unsur belajar. Dari permainan ini mereka bisa belajar banyak hal tentang Bhinneka Tunggal Ika,” kata Alamsyah Djafar, Program Officer The Wahid Institute.

 

Aditama, seorang guru di sekolah itu, mengatakan board game Negeri Kompak yang dimaikan para pelajar di sekolahnya merupakan wahana tepat untuk pembelajaran alternatif. Ia mengatakan Negeri Kompak akan menjadi pola belajar baru bagi pelajar, terutama terkait ke-bhinnekaann dan toleransi.

 

“Setelah saya amati, ternyata luar biasa ya. Negeri Kompak ini akan sangat baik dijadikan sebagai media belajar alternatif. Nah, dalam pendidikan kewarganegaraan, umumnya guru akan ceramah soal toleransi dan keberagaman. Siswa pasti bosan dan bisa mengantuk di kelas. Dengan game Negeri Kompak, mereka tadi terlihat sangat bersemangat. Bahkan, mereka meminta waktu bermain itu ditambah, karena mereka sangat senang,” kata Aditama.

 

Guru lainnya, Diani, mengatakan pihaknya akan sangat senang untuk memperkenalkan game Negeri Kompak ke semua pelajar di sekolahnya. Ia berharap 120 pelajar pertama yang memainkan game ini bisa mengajarkan teman-teman mereka dari kelas lain. (ai)

 
15
Okt 2014

JAKARTA - Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid, kembali mengingatkan masyarakat untuk tidak gampang terprovokasi oleh isu-isu berbasis agama yang sengaja dipelintir untuk kepentingan politik kelompok atau golongan tertentu.

 

Hal ini disampaikan Yenny Wahid saat menjadi pembicara di Konferensi International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di Jakarta, Rabu (15/10) pagi.

 

Yenni mengatakan semua elemen dalam masyarakat harus berhati-hati, karena ke depan kasus intoleransi berbasis isu agama mungkin akan terus meningkat. Ini terjadi karena ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah terus terjadi secara global.

 

“Ketidakpuasan ini kemudian diekspresikan dengan beragam, termasuk mengatasnamakan agama untuk bersikap tidak toleran. Yang kita takutkan adalah ekspresi dengan bentuk kekerasan dan mengatasnamakan agama, seperti yang dilakukan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan umat Islam. Padahal, mereka tidak mewakili muslim,” sebut Yenny.

 

Ia mengkhawatirkan ekspresi-ekspresi kekerasan dan intoleransi kemudian masuk dalam ranah politik, terutama ketika ada kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan hal ini untuk menciptakan ketidakstabilan politik di Indonesia.

 

Dalam konferensi itu, ia juga mengingatkan semua pihak bahwa di Indonesia isu agama bisa sangat mudah menjadi pemantik konflik. “Kalau sudah diseret ke isu agama, gampang sekali menjadi pemantik kerusuhan yang lebih besar lagi,” katanya.

 

“Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita harus lebih gencar menyampaikan ke masyarakat untuk tidak gampang terprovokasi oleh hal-hal semacam ini.”

 

“Yang pertama, civil society harus merapatkan barisan. Ini merupakan pekerjaan rumah yang besar. Bukan hanya bagi aktifis kerukunan beragama. Ini harus dilakukan bersama-sama,” ujar Yenny.

 

“Kedua, pemuka agama harus bisa menahan diri, untuk lebih mengutamakan kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan politik sesaat. Ketiga, para kepala daerah atau calon kepala daerah tidak menggunakan isu-isu agama untuk kepentingan politik sesaat. Contohnya, di sebuah daerah calon kepala daerahnya tidak pernah shalat dan bahkan sangat sekuler. Tapi, ketika kampanye mereka akan tampil sangat alim dan menjual-jual agama untuk memenangkan pemilihan. Ini sangat berbahaya,” ujar Yenny lagi. [ai]

 
30
Sep 2014

 

 

Peace in Diversity (PID), sesuai maknanya, nama ini sengaja dipilih untuk mempertemukan anak-anak muda yang berbeda namun mempunyai semangat tinggi menjaga perdamaian. Yang menggagas kegiatan ini adalah Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), The Wahid Institute (WI), dan didukung oleh Mission 21.

 

Forum ini akan menjadi ajang bagi pemuda lintas agama untuk saling mengenal, berkomunikasi, serta berbagi informasi terkait aktifitas-aktifitas keberagamaan. Sabtu-Minggu (27-28/09/14) kemarin, sekitar 40-an peserta PID telah melaksanakan kegiatan kunjungan ke rumah ibadah di sekitaran Jakarta.

 

Beberapa rumah ibadah yang telah dikunjungi adalah Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, Vihara Mahavira, GPIB Tugu, dan Lithang TMII. Semua rumah ibadah tersebut menyambut baik kunjungan mahasiwa lintas agama ini. Para pengelola rumah ibadah pun dengan senang menjelaskan informasi terkait rumah ibadah, seperti sejarah, tata cara beribadah, simbol-simbol agama, dll.

 

Selain berkunjung ke rumah ibadah, kegiatan ini juga diisi dengan workshop menulis yang difasilitatori oleh Alamsyah M Dja’far (aktivis Wahid Institute), dan Ahmad Nurcholish (aktivis ICRP). Dalam workshop ini peserta mendapat bekal bagaimana membuat sebuah tulisan reflektif yang menarik.

 

Kegiatan lain dari PID ini adalah live in yang akan dilaksanakan di sebuah pesantren di Bekasi, Jawa Barat. Dalam live in tersebut peserta akan tinggal bersama selama dua hari untuk belajar bersama, berdiskusi, dan sharing pengalaman terkait kehidupan beragama di Indonesia. Live in akan dilaksanakan bulan 24-25 Oktober mendatang.

 

Beberapa peserta terlihat antusias mengikuti acara ini. Mereka menyatakan, selain mendapatkan teman baru, dalam kegiatan PID ini, mereka merasakan indahnya perbedaan. Perbedaan tidak harus menjadi halangan, demikian ungkap salah satu peserta.

 

“Kita boleh berbeda, namun tetap damai” demikian ungkap Fawwas, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra yang menjadi salah satu peserta dalam kegiatan PID.

 

Hal senada juga diungkapkan oleh Nur Hidayat, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurut pemuda yang akrab disapa Dayat ini menyatakan bersyukur bisa mengikuti kegiatan PID ini. Pasalnya kegiatan ini dapat memberikan perspektif positif terhadap kemajemukan yang telah menjadi fitrah bangsa Indonesia.

 

“Dari forum ini saya mengetahui indahnya perbedaan. Saya bisa mengetahui kegiatan sahabat-sahabat saya yang berbeda agama. Melihat ke dalam gereja, menelisik vihara, dan lain-lain” ungkapnya.

 

“Kegiatan ini bukan pendangkalan aqidah. Justru semakin menambah keyakinan saya. Tuhan sangat luar biasa, menciptakan makhluknya dengan sangat beragam dan indah” tegas Fatmau Utami Jauharoh, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sumber : http://icrp-online.org/