20
Feb 2015
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

 

ORANG Tionghoa di Indonesia sedang menyambut hadirnya Imlek. Perayaan Tahun Baru Imlek 2566 pada 19 Februari 2015 ini menjadi bagian dari ekspresi kultural orang-orang Tionghoa di Indonesia. Perayaan Imlek tidak hanya ramai diselenggarakan di kelenteng, namun juga menjadi ritual tradisi di masjid, gereja, bahkan sebagai kirab masal. Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jogjakarta menyelenggarakan Imlek di Masjid Syuhada’. Orang-orang Tionghoa bersama warga pribumi Jawa di Surakarta bahkan menyelenggarakan Imlek dalam tradisi Jawa dengan ritual Grebeg Sudiro. Akulturasi tradisi ini menjadi jembatan untuk menegosiasikan ritual antar-sekat etnis dan agama.

Penyelenggaraan meriah tradisi Imlek tak lepas dari peran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada masa Soeharto, warga Tionghoa tidak boleh menampakkan ekspresi kultural dan religiusnya di panggung publik. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang menjadi produk hukum rezim Orde Baru, melarang segala hal yang berbau Tionghoa. Peristiwa tragis pada Mei 1998 menjadi puncak represi Soeharto, yang membawa korban bagi orang Tionghoa yang meninggal serta kehilangan rumah dan pekerjaan.

Ketika menjabat presiden, Gus Dur mencabut Inpres 14/1967, lalu menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Baru pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, mulai 2003 Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.

Keberpihakan Gus Dur

Kebijakan Gus Dur membuka keran kebebasan budaya dan agama bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, yang sebelumnya terkekang oleh represi penguasa Orde Baru. Peran Gus Dur tersebut mengembalikan eksistensi warga Tionghoa di Indonesia. Tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa di Indonesia kembali terangkat. Kebijakan Gus Dur itu menjadi bagian dari politik identitas untuk menciptakan harmoni keindonesiaan.

Atas sumbangsih Gus Dur, pada 10 Maret 2004 kelompok keturunan Tionghoa di Kelenteng Tay Kek Sie Semarang menahbiskan mantan presiden RI tersebut sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Secara garis besar, alasan penobatan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dapat diteropong dari sejumlah sudut pandang: perjuangan Gus Dur dari sisi kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa, keteladanan Gus Dur dalam memperlakukan kelompok keturunan Tionghoa, serta sisi pelengkap yang masih berupa kontroversi, yaitu pengakuan Gus Dur sebagai keturunan Tionghoa, dari marga Tan (Ibad dan Fikri, 2012 : 123).

Penahbisan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa pada masa itu memang menjadi perdebatan. Ada yang mendukung, namun ada juga yang mencibir bahwa Gus Dur hanya mencari popularitas. Apalagi, jejaring komunitas dan ekonomi Tionghoa menjadi sangat penting di Indonesia, khususnya sebagai pendukung politik. Pendapat yang terakhir ini dapat dipatahkan. Sebab, pada kenyataannya, Gus Dur tak hanya memihak kelompok Tionghoa. Namun, secara luas dia juga berpihak kepada kaum lemah (mustadh’afin) dan pihak-pihak yang selama ini mengalami perlakuan marginal, lintas budaya dan agama.

Renungan Kemanusiaan

Pandangan Gus Dur dalam mendasari nilai universalismenya yang membuat berbeda dengan para pemikir dan pemimpin agama kebanyakan adalah dalam memahami ayat ”udkhuluha fi as-silmi kaffah” (QS Al Baqarah [2 : 208]). Berbeda dengan tokoh lain yang menganggap as-silmi sebagai ”Islam”, Gus Dur dalam hal ini memandang as-silmi kaffah sebagai kedamaian secara penuh, yang membawa pada keberadaan universal dan tidak perlu diterjemahkan pada sistem-sistem tertentu, termasuk kepada Islam. Karena ayat tersebut mengajak pada kedamaian umat manusia.

Lebih lanjut, Gus Dur (dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, 2006 : 4) dalam memandang keislaman lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar untuk menjadi ”muslim yang baik”. Sebagaimana diajarkan dalam ayat-ayat Alquran, ada lima syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi muslim yang baik: menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, dan kaum miskin), menegakkan profesionalisme, serta bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan. Dari perspektif inilah, keberpihakan Gus Dur kepada warga Tionghoa dapat dicari alasan rasional dan personalnya.

Keberpihakan dan visi kemanusiaan Gus Dur inilah yang selalu dikenang, terutama dalam penyelenggaraan Imlek tiap tahun. Visi kepemimpinan Gus Dur mampu menjadi pengayom bagi kelompok marginal. Orang-orang Tionghoa mengenang kiprah Gus Dur dengan memberikan penghormatan atas kebijakan politiknya. Imlek untuk mengenang Gus Dur merupakan penghormatan kepada pejuang kepentingan orang Tionghoa. Merenungi makna Imlek berarti juga merenungi perjuangan Gus Dur. Tak hanya sebagai bapak orang Tionghoa, namun juga bapak bangsa.

Ahok dan Gus Dur

Orang Tionghoa di Indonesia saat ini sudah diakui kontribusinya dalam pelbagai bidang, dari politik, hukum, kuliner, militer, hingga kesehatan. Bidang-bidang sosial dan profesional yang sebelumnya dianggap sebagai ruang tabu bagi orang Tionghoa saat ini sudah sangat terbuka. Pengakuan atas peran John Lie sebagai pahlawan Indonesia menjadi renungan berharga. John Lie menjadi salah seorang tokoh Tionghoa yang berjuang di bidang militer untuk membantu kemerdekaan negeri ini. Dengan demikian, ada bukti bahwa orang Tionghoa berjasa besar dalam menegakkan kemerdekaan di negeri ini.

Peran Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga menjadi menarik untuk direnungi. Ahok adalah pertaruhan karir politik orang Tionghoa di Indonesia pascareformasi. Meski ada beberapa tokoh Tionghoa di tingkat lokal yang menjadi bupati, wali kota, maupun anggota legislatif. Ahok menjadi cermin bagi kontribusi orang Tionghoa di bidang politik. Ahok mengaku berutang budi kepada Gus Dur, yang telah mendorongnya maju sebagai tokoh politik sejak di Belitung Timur.

Renungan Imlek bagi warga Indonesia adalah perayaan mengenang keragaman budaya negeri ini. Betapa indah jika keragaman tersebut dimaknai dengan pikiran jernih dan akal budi yang cerdas, bukan dengan prasangka. Pikiran jernih akan semakin menguatkan kohesi sosial antaretnis di negeri ini. Selamat Imlek 2566, Tahun Kambing Kayu! (*)

Munawir Aziz

 

Alumnus Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Pascasarjana UGM Jogjakarta, penulis buku Gus Dur dan Jaringan Tionghoa Nusantara

 

Dimuat di Jawa Pos

17412
 

Add comment


Security code
Refresh