01
Apr 2015

 

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anak muda menjadi ujung tombak sebagai generasi penerus yang menciptakan kerukunan dan kedamaian antaragama di Indonesia. Inilah cita-cita besar PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), PKN (Protestant Kerk in Netherland) dan SAG (Sinode AM Gereja-gereja) Sulutteng, sehingga mereka mengadakan Interfaith Young Camp atau Kemah Lintas Agama di Minahasa, Sulawesi Utara, pada 16—20 Maret pekan lalu.

 

Bagi Ahmad Nurcholish, fasilitator utama acara ini, perhelatan Kemah Lintas Agama merupakan kegiatan yang sangat menarik dan menyenangkan. Adapun sebanyak 150 anak muda dari seluruh Indonesia dengan latar belakang agama yang berbeda dikumpulkan untuk membahas berbagai persoalan dan dinamika kehidupan beragama di tanah air.

 

“Sebagian besar pesertanya pemuda Kristen dan Islam, namun Katolik, Konghucu, Hindu dan Buddha juga ada.” ujar Nurcholish kepada satuharapan.com, Senin (23/3).

 

Adapun lembaga kepemudaan yang mengikuti perkemahan lintas agama ini adalah organisasi pemuda GMIM, GPdI, GMIST, GPIG, GKLB, GBKP, GKJ, GMIBM, GPIBT, GMIH, GKST, Nadhatul Ulama (NU) Sulut, GERMITA, Pemuda Mesjid Sulut, Mahasiswa Muslim IPDN Kampus Sulut, Pemuda Konghucu, Mahasiswa UKIT Tomohon, UPK Kristen Unsrat, PGI Wilayah Sulselbar, Mahasiswa Hindu IPDN Kampus Sulut, Pemuda Anshor, PMII,  GKBP Bandung, GPIB Makasar, GKJW, Pemuda FKUB Sangihe, Depera PGI, Remaja Mesjid, dll.

 

Kegiatan yang digelar selama lima hari ini menjadi wadah pertukaran pikiran bagi para pemuda dalam menanggapi isu-isu hubungan antaragama di Indonesia, khususnya isu pernikahan beda agama.

 

Selain dalam bentuk diskusi, terdapat pula kegiatan olah raga bersama, outbond, dan malam api unggun guna mempererat keakraban para peserta.

 

Nurcholish mengaku, awalnya pemikiran para peserta mengenai isu perbedaan agama agak tertutup. Namun, melalui acara ini, ia melihat ada banyak perubahan. Mereka menjadi bisa menerima perbedaan dan kepelbagaian yang ada pada agama orang lain.

 

“Dengan perubahan tersebut, diharapkan pertalian dan persaudaraan di antara mereka semakin akrab dan dekat, meski secara geografis jarak berjauhan,” katanya.

 

Ia pun berharap, anak-anak muda tersebut tidak hanya berperan sebagai duta toleransi dan perdamaian, tetapi juga mampu menginspirasi pemuda-pemudi lainnya di seluruh Indonesia.

 

Untuk itulah, para peserta dan fasilitator menyusun RTL (Rencana Tindak Lanjut) demi memperluas gerakan toleransi dan kerukunan di daerah asal masing-masing kontingen. Misalnya, Pengurus Pemuda Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dan Gereja Masehi Injili di Sangihe Talaud (GMIST) berencana menghelat program lintas agama dengan skala yang lebih majemuk lagi, seperti perkemahan pemuda, pelatihan jurnalistik damai, pelatihan menulis, dan program Peace in Diversity (PiD) yang meliputi kunjungan ke rumah-rumah ibadah, menulis refleksi, dan live in bersama.

 

Selain melibatkan Ahmad Nurcholish sebagai fasilitator, acara ini juga menggandeng beberapa narasumber, seperti Pendeta Dr. Suwignyo asal Malang, Pendeta Retno Ratih dari Gereja Kristen Jawa Klaten dan Alamsyah M. Dja'far, peneliti The Wahid Institute.

 

Para peserta diberi pengetahuan seputar realitas kemajemukan agama dan Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk membahas kelompok fundamentalis Islam dan Kristen.

 

Diakui Nurcholish, unsur kemajemukan acara ini masih didominasi oleh Kristen dan Islam. Oleh sebab itu, pada kegiatan serupa berikutnya, kontribusi dari pemuda Hindu, Budha, dan Konghucu sangat diharapkan sehingga kemajemukannya lebih terasa.

 

Dimuat di SATU HARAPAN

5094
 

Add comment


Security code
Refresh