26
May 2015

Opini Alamsyah M. Dja'far

 

JAKARTA, KOMPAS - Di pengujung tahun ini, 269 daerah di Indonesia menggelar pemilihan kepala daerah serentak tahap pertama: 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten. Sisanya digelar Februari 2016 untuk tahap kedua dan Juni 2018 untuk tahap ketiga.

 

Jumlah daerah pada tahap pertama mencapai 53 persen dari 537 provinsi dan kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.

 

Hajatan politik "borongan" ini merupakan pengalaman baru bagi Indonesia, bahkan dunia. Begitulah kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik beberapa bulan lalu. Jadi, kita memang masih meraba-raba bagaimana praktiknya nanti. Apalagi, capaian dan tantangan pilkada serentak ini belum pernah ada presedennya.

 

 

Waspadai isu SARA

Melihat kasus Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014, dalam pilkada serentak perlu diwaspadai ujaran kebencian (hate speech) berbasis agama. Inilah tantangan cukup serius yang perlu segera dikelola agar tidak menodai pesta demokrasi lokal.

 

Bagi sebagian kalangan, ujaran kebencian masih dianggap cara efektif mendulang dukungan politik sekaligus menurunkan pesona lawan. Dalam dua kasus di atas, Joko Widodo—kini Presiden RI—sangat merasakan dampak yang ditimbulkannya, baik secara politis maupun sosial. Ibunya dituduh Kristen, dirinya dihujat antek komunis dan Yahudi, keturunan Tionghoa, dan bahkan tak bisa berwudu.

 

Kita tahu, praktik kotor dalam Pilkada DKI dan Pilpres tak membuat Jokowi kalah. Namun, daya rusaknya betul-betul nyata. Ujaran kebencian berhasil menurunkan elektabilitas Jokowi di wilayah Jawa Timur dan Jawa Barat pada pilpres lalu.

 

Dalam masyarakat, seseorang memang dengan mudah membelah identitas seseorang: Muslim-Kristen; pribumi-Tionghoa; antek Zionis-bukan; dan seterusnya, khususnya dalam percakapan di media sosial. Hingga puluhan tahun ke depan, residunya masih akan susah dibersihkan.

 

Ancaman meroketnya kekerasan dan konflik sosial dalam pilkada serentak tampaknya tak akan terjadi. Secara umum masyarakat makin dewasa mengikuti pilkada. Namun, untuk memuaskan berahi politik, sebagian kecil lagi memang masih akan menggunakan cara apa pun, termasuk kekerasan. Laporan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, misalnya, ”hanya” menemukan 5 persen kasus kekerasan terjadi terkait pilkada sebanyak 500 kali sepanjang 2005-2008. Pada 2010, International Crisis Group mencatat pada 220 pilkada terjadi 20 kasus kekerasan.

 

Akan tetapi, ancaman serius berikut yang penting direspons adalah meningkatnya kekerasan nonfisik. Salah satunya dalam bentuk ujaran kebencian menjelang dan saat pilkada.

 

Banyak riset menunjukkan, hubungan kekerasan dan pilkada tak selalu seperti kompor dan api. Bahan baku konflik sudah hadir sebelum pilkada, bahkan jauh sebelumnya. Misalnya isu Kristenisasi, aliran sesat, stigma kafir, ateis, atau komunis. Maka, momen politik seperti pilkada sering kali menjadi arena berbagai aktor (politisi, birokrasi, tokoh agama, tokoh masyarakat) mengangkat sentimen intoleransi keagamaan yang sudah ada itu untuk mobilisasi elektoral. Jadi, untuk mengatasi konflik, kita harus bergerak menuju sumber masalah, tak hanya terpaku pada momen pilkada.

 

Konflik keagamaan

Pandangan ini salah satunya diperkuat oleh hasil riset Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada bertajuk "Politik Lokal dan Konflik Keagamaan". Hasil riset yang dirilis Februari 2015 ini berusaha melihat konflik keagamaan dan relasinya dengan pilkada di tiga wilayah: Sampang, Bekasi, dan Kupang.

 

Di Sampang isu Syiah, Bekasi isu pendirian gereja, dan Kupang tentang pendirian masjid. Dalam semua kasus tersebut, pilkada mempertemukan kekuatan-kekuatan berbeda dalam kepentingan bersama menekan kelompok korban, umumnya kelompok minoritas. Riset ini juga mengingatkan bahaya politik intoleransi semacam itu: antagonisme dan polarisasi berdasar sentimen komunal dalam jangka panjang.

 

Mengapa ujaran kebencian perlu dilawan? Karena daya rusaknya tidak hanya terhadap struktur demokrasi, tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Warga dunia melihat dengan ngilu apa yang terjadi dalam perang atau kasus pelanggaran berat seperti Rwanda.

 

Dalam tragedi yang terakhir, 800.000 warga suku Tutsi dan Hutu moderat dibantai dalam seratus hari. Sebelumnya ujaran-ujaran kebencian diserukan lewat radio Mille Collines. Demi mencegah peristiwa berulang, tahun 1976 PBB mengadopsi larangan ujaran kebencian dalam Pasal 20 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Kovenan ini kita ratifikasi tahun 2005.

 

 

Daya rusak

Di era Reformasi, kita juga masih menyaksikan daya rusak ujaran kebencian yang mengakibatkan nyawa melayang, korban fisik, trauma, terusir dari kampung dan hidup sebagai pengungsi. Mereka di antaranya Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Syiah Sampang, kelompok yang dituduh sesat, dan kelompok minoritas.

 

Menurut Artikel 19, organisasi asal Inggris yang berjuang merawat kebebasan berekspresi, ada empat kata kunci dalam ujaran kebencian: kebencian, diskriminasi, kekerasan, dan permusuhan. Kebencian yang bisa dikategorikan ujaran kebencian adalah ketika berdampak dan mewujud dalam diskriminasi, kekerasan, dan permusuhan.

 

Contoh paling baik dari praktik ini adalah pernyataan atau tulisan-tulisan di media-media daring yang berusaha menghasut, mengajak perang, membunuh, merendahkan, dan mengancam kelompok tertentu, khususnya minoritas. Bentuk-bentuk pelabelan yang pada dasarnya jahat dan lahir akibat kebencian juga bisa disebut ujaran kebencian.

 

Umumnya pelabelan dan stigmatisasi dengan kata-kata seperti kafir, antek zionis, musuh umat, Cina, dan Kristen. Kata-kata yang lebih terang dalam ujaran kebencian biasanya diikuti dengan intimidasi dan ancaman: habisi, ganyang, perangi, dan lain-lain.

 

Merujuk laporan-laporan pemantauan sejumlah lembaga, beberapa daerah rawan merebaknya kasus ujaran kebencian muncul di pilkada beberapa kabupaten di Jawa Barat seperti Sukabumi dan Indramayu; sejumlah kabupaten di DIY; atau beberapa kabupaten di Jawa Timur. Di wilayah-wilayah tersebut, kasus-kasus intoleransi banyak terjadi, termasuk kasus ujaran kebencian selama Pilpres 2014.

 

Ada sejumlah langkah untuk mengantisipasi ancaman ini. Pertama, meyakinkan para peserta pilkada bahwa penggunaan praktik ujaran kebencian hanya akan meninggalkan problem jangka panjang bagi daerah tersebut. Dalam banyak kasus, cara-cara kotor itu tak membuat mereka menang meski sebagian kasus menunjukkan sebaliknya. Praktik itu justru akan menjadi beban sejarah yang tak ringan dalam masa pemerintahan mereka jika ia betul-betul terpilih.

 

Kedua, memperkuat pengawasan melalui lembaga-lembaga resmi, seperti badan pengawas pemilu, maupun masyarakat umum, seperti tokoh agama dan tokoh masyarakat. Di sini peran NGO lokal dan nasional juga penting.

 

Merujuk laporan NGO

Laporan-laporan mereka menjadi rujukan sekaligus fakta sejarah yang menjadi pembelajaran penting bagi Indonesia, bahkan dunia. Penting diingat, tantangan ujaran kebencian bukan hanya masalah Indonesia, melainkan juga dunia.

 

Ketiga, penegakan hukum (law inforcement). Untuk menimbulkan efek jera, kasus-kasus ujaran kebencian harus diproses hukum secara adil. Ada banyak payung hukum yang bisa dipakai, misalnya Pasal 156 KUHP atau Pasal 86 UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Proses hukum itu tak boleh hanya berani untuk kelompok minoritas, tetapi loyo bagi kaum mayoritas.

 

Keempat, pengarusutamaan politik toleransi. Dalam jangka panjang, gerakan dan kesadaran mengedepankan politik toleransi harus diperkokoh. Politik yang berkeadaban harus mengedepankan penghargaan atas keragaman agama/keyakinan, bukan penyeragaman. Dengan begitu kita bisa berharap, kelak visi toleransi menjadi salah satu ukuran dan standar penilaian memilih kepala daerah. Gerakan ini bisa dilakukan lewat pendidikan formal dan informal.

 

 

Alamsyah M Dja'far
Peneliti The Wahid Institute Jakarta

* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Mei 2015 dengan judul "Pilkada Serentak dan Ancaman Kebencian".

 
23
Mar 2015

Opini, oleh Alamsyah M. Dja'far

 

Jika “khittah” sekolah negeri adalah lumbung persemaian toleransi, sejumlah temuan ini memperlihatkan fakta yang berpunggungan. Intoleransi justru menguat di sekolah-sekolah itu. Sepanjang Juli-Desember tahun lalu, The Wahid Institute, lembaga yang didedikaskan untuk meneruskan gagasan dan perjuangan KH. Abdurrahman Wahid, membuat papan permainan mirip monopoli sebagai alat memperkuat nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Diberi nama Negeri Kompak, permainan ini sudah dimainkan 500 pelajar di lima sekolah menengah negeri di Jabodetabek. Di akhir kegiatan, setiap peserta diminta mengisi lembar pertanyaan.

 

Ada beberapa data menarik. Dari 306 siswa, yang tak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain seperti mengucapkan selamat natal 27%, ragu-ragu 28%. Siswa-siswi yang akan membalas tindakan perusakan rumah ibadah mereka sebanyak 15%, ragu-ragu 27%. Sementara mereka yang tak mau menjenguk teman beda agama yang sakit 3%, ragu-ragu 3%.

 

Secara umum, merujuk data ini, pandangan kaum pelajar di sekolah negeri di Jabodetabek memang terbuka dan toleran. Tapi, kecenderungan intoleransi dan radikalisme rupanya terus menguat. Riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipublikasi empat tahun lalu lebih mengkhawatirkan lagi. Pandangan intoleransi dan islamis menguat di lingkungan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan pelajar.  Ini dibuktikan dengan dukungan mereka terhadap tindakan pelaku pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah (guru 24,5%, siswa 41,1 %); pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat (guru 22,7%, siswa 51,3 %); pengrusakan tempat hiburan malam (guru 28,1%, siswa 58,0 %); atau pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain (guru 32,4%, siswa 43,3 %).

 

Penelitian yang dilakukan aktivis sosial keagamaan Farcha Ciciek di tujuh kota (Jember, Padang, Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap dan Yogyakarta)  menyorongkan tren serupa. Para guru agama Islam dan murid-muridnya ternyata kurang toleran dengan perbedaan dan cenderung mendukung ideologi kekerasan. Disebutkan, 13 persen siswa di tujuh kota itu mendukung gerakan radikal dan 14 persen setuju dengan aksi terorisme Imam Samudra. Beberapa pelaku terorisme yang berhasil ditangkap aparat merupakan pelajar di bangku sekolah umum.

 

Kekhawatiran terhadap fenomena ini disadari pemerintah Jokowi-Kalla. Isu penolakan terhadap keberagaman muncul menjadi salah satu isu strategis bidang pendidikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPMJN) 2015-2019. Dalam “Buku Kedua” RPJMN, pemerintah mengakui pendidikan agama masih belum mampu menumbuhkan wawasan inklusif. Proses pengajaran cenderung doktriner dan belum sepenuhnya diarahkan pada penguatan sikap keberagamaan siswa. Pemerintah menyadari, pemahaman agama siswa tidak hanya merujuk pada guru mata pelajaran agama, tapi justru mentor-mentor kegiatan keagamaan ekstrakurikuler. Mentor-mentor ini yang kadang menularkan virus intoleransi. Misalnya doktrin agar tak hormat bendera merah putih.

 

Mengapa Menguat?

Ada beberapa faktor mengapa intoleransi di sekolah negeri menguat. Pertama, lemahnya penerjemahan visi para pemangku kepentingan dalam penyemaian toleransi di sekolah-sekolah negeri. Sebagian pimpinan sekolah dan guru misalnya abai terhadap benih-benih diskriminasi dan intoleransi sekaligus dampak-dampak negatif. Misalnya, tindakan guru atau siswa menghalang-halangi siswa minoritas menggunakan ruangan di sekolah sebagai tempat kegiatan keagamaan mereka. Padahal, siswa beragama mayoritas begitu mudah mendapatkan akses tersebut.

 

Tantangan itu kemungkinan pula dipengaruhi bias tafsir terhadap UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Misalnya, pemaknaan terhadap tujuan pendidikan nasional dalam pasal 1 ayat 2. Di pasal itu, pendidikan nasional dimaknai sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”

 

Dalam praktiknya, kata “nilai-nilai agama” dalam pasal itu justru diterjemahkan dengan hanya menerapkan nilai satu agama, khususnya agama mayoritas. Padahal yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai universal dari beragam agama. Mungkin cara berpikir ini yang menyebabkan mengapa banyak kasus sekolah negeri, menonjolkan ritual-ritual agama tertentu bagi siswa-siswinya. Sebagian kepala sekolah berpikir sekolah negeri yang sukses dan berkualitas adalah yang religius. Sayangnya religius di situ, sekali lagi, hanya diambil dari satu agama.

 

Kedua, pemahaman pejabat dan guru-guru dari PNS di bidang pendidikan masih tampak kesulitan membedakan area keyakinan pribadi dengan nilai dasar yang dipegangnya sebagai pemerintah. Ini yang menyebabkan mengapa kepala sekolah atau guru mudah melakukan diskriminasi terhadap siswa yang berbeda agama dan keyakinan. Padahal dalam banyak peraturan perundang-undangan, prinsip non-diskriminasi harus dikedepankan. Misalnya dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Mereka yang melabrak aturan ini bisa dilaporkan ke lembaga-lembaga pengawas.

 

Ketiga, absennya  peran ormas-ormas keagamaan moderat seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, PGI, KWI, Matakin, komunitas penghayat kepercayaan “menggarap” pelajar di sekolah negeri. NU, misalnya, masih berkonsentras menggarap pesantren, sekolah agama seperti MTS atau MA, atau perguruan tinggi Islam. Organisasi Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) atau Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), dua organisasi di bawah NU, lebih menyasar lingkungan sekolah-sekolah agama negeri dan swasta  ketimbang sekolah negeri umum. Begitupun Muhammadiyah yang basis jamaahnya berada wilayah urban dan basis lembaga pendidikan yang mereka dirikan. Ikatan Remaja Muhamadiyah (IRM) lebih banyak menggarap pendidikan di bawah Muhamadiyah.

 

Jalan Keluar

Ada sejumlah langkah yang bisa ditempuh mengatasi intoleransi. Pertama, pengarusutamaan nilai-nilai kebhinekaan di sekolah-sekolah negeri. Sekolah harus menajadi tempat strategis membangun kesadaran kebhinekaan dan toleransi. Upaya-upaya yang bisa dilakukan dengan peningkatan kapasitas kepala sekolah, guru-guru, termasuk pejabat di dinas pendidikan atau kementerian pendidikan.

 

Kedua, meningkatkan partisipasi orang tua murid untuk memastikan agar anak-anak mereka tidak mengalami diskriminasi atau mengambil jalan pemahaman intoleran. Mereka bisa melaporkan kasus-kasus diskriminasi kepada lembaga pengawas ekstrenal seperti Ombudsman atau organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu ini. Bisa pula memaksimalkan peran forum guru. Forum guru bisa menjadi tempat di mana mereka bisa bersama-sama mencari solusi membangun nilai-nilai toleransi

 

Ketiga, membuat atau memperkuat pola audit kinerja internal di sekolah-sekolah. Di sini bisa dimasukan prinsip layanan non-diskriminasi, di samping prinsip akuntabilitas dan transparansi, sebagai salah satu indikator keberhasilan sekolah.

 

Keempat, kerjasama dengan organisasi moderat di Indonesia dalam memperkuat nilai-nilai kebinekaan di sekolah-sekolah negeri.

Upaya ini tak mudah. Perlu dukungan banyak pihak. Harus diingat pula, di tengah pertarungan gagasan dan informasi dewasa ini, sekolah-sekolah negeri adalah arena pertarungan strategis bagi banyak pihak dengan ideologi dan tujuan yang dibawa. “Pendidikan adalah transmisi peradaban,” kata peraih Pulitzer Prize untuk kategori non-fiksi umum 1968, Ariel and Will Durant. Jika konstitusi bercita-cita, lembaga pendidikan adalah tempat persemaian nilai-nilai kebhinekaan dan toleransi, bagi kelompok lain bisa sebaliknya. Dan saya percaya, anda semua orang-orang yang akan ada di barisan penyokong konstitusi. Semoga.

 

Penulis adalah peneliti the Wahid Institute Jakarta

 
11
Mar 2015

RENCANA Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk memasukkan draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) ke DPR untuk menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 tertunda.


Hal ini berarti Kementerian Agama sebagai inisiator RUU tersebut punya waktu lebih panjang untuk menyusunnya. Sejauh yang penulis pantau, Kementerian Agama, baik melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) maupun Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) sudah melakukan serangkaian diskusi untuk menyusun Naskah Akademik dan draf RUU. Namun hingga kini belum tampak hasilnya yang bisa didiskusikan bersama, baik Naskah Akademik maupun draf RUU-nya. 

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengemukakan, RUU PUB nanti paling tidak mengatur lima hal yang dianggap paling krusial. Lima hal tersebut adalah: 1) Hak penganut aliran keagamaan di luar enam agama yang resmi diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu). 

Hal ini sudah lama menjadi kerisauan bersama dan cenderung memunculkan konflik. Pengikut agama di luar yang enam itu merasa, pemerintah kurang menyapa dan menfasilitasi mereka. Padahal konstitusi mengamanahkan perlindungan tanpa pengecualian terhadap semua warga negara; 2. Soal pendirian rumah ibadah. Hal ini cukup kompleks karena melibatkan banyak lembaga. 

Tidak hanya kemenag, tapi juga FKUB dan pemda karena terkait dengan tata ruang; 3) Isu penyiaran agama. Dewasa ini semua umat agama kian marak menyiarkan ajaran agamanya dengan berbagai cara. Karena itu perlu ada aturan yang boleh dan tidak boleh disiarkan di ruang publik. Demikian pula cara-cara penyiaran agama yang agitatif perlu diatur; 4) Isu kekerasan terhadap minoritas yang disesatkan; 5) Isu kian meningkatnya angka intoleransi. 

Hal itu diduga berpangkal dari pemahaman agama yang sempit dan mudah menuduh pihak lain sebagai musuh. Di luar lima hal tersebut sebenarnya ada persoalan lain yang layak dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam RUU PUB, yaitu masalah penistaan agama dan ujar kebercian (hate speech) terhadap pihak lain, baik yang berbeda agama maupun seagama. 

Hal-hal tersebut, idealnya harus dirumuskan peta persoalannya agar regulasi yang akan disusun tidak salah arah, atau justru menjadi sarana legitimasi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan spirit awal penyusunan RUU PUB ini. Saya sebenarnya ingin menguraikan satu per satu persoalan di setiap isu. Namun, tentu bukan di sini karena ruangan yang terbatas. 

Arah Penyusunan RUU PUB
Hal yang paling penting dalam setiap penyusunan regulasi adalah memberi arah yang tercermin dalam asas-asas RUU itu. Dalam kaitan RUU PUB ini harus diarahkan untuk beberapa tujuan sebagai berikut. Pertama, memastikan bahwa semua warga negara, apapun agama dan keyakinannya harus diperlakukan secara adil dan setara.

Perlakukan secara adil dan setara dalam arti semua warga negara dengan berbagai jenis keyakinan keagamaannya harus mendapat perlindungan dan pelayanan kewarganegaraan yang equal. Dengan kata lain, RUU PUB harus bisa menghilangkan seluruh bentuk diskriminasi berdasar agama dan keyakinan. 

Meski Indonesia sudah punya UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, namun UU ini belum memasukkan agama dan keyakinan sebagai persoalan yang harus dibebaskan dari diskriminasi. UU ini hanya terfokus pada diskriminasi ras dan etnis dimana agama tidak menjadi bagian di dalamnya. 

Terkait dengan hal ini, harus diakui, hingga menjelang 70 tahun merdeka Indonesia belum terbebas dari diskriminasi berdasar agama dan keyakinan. Di satu sisi negara sudah memberi pemenuhan yang melimpah untuk menjalankan agama dan keyakinannya, namun di pihak lain ada kelompok masyarakat yang hak eksistensialnya masih dipersoalkan. 

Kedua, RUU PUB harus memberikan jaminan perlindungan kepada warga negara untuk memeluk agama dan keyakinan, tanpa dibayang-bayangi penyesatan dan kriminalisasi. Keyakinan keagamaan tak dapat dikriminalkan. Prinsip pokok ini harus dipegang teguh oleh perumus RUU ini agar tidak terombang-ambing dengan berbagai pendapat. 

Selama ini sering terjadi kriminalisasi keyakinan keagamaan karena dianggap sebagai kelompok sesat, bahkan dianggap melakukan penistaan agama. Ketiga, terkait dengan poin kedua, kriminalisasi dengan tuduhan penistaan agama tidak bisa diarahkan pada keyakinan keagamaan dan orang-orang yang mengembangkan pemikiran keagamaan yang berbeda dengan mainstream. 

Kriminalisasi harus lebih diarahkan pada tindakan atau ucapan bernada kebencian atau mengancam keselamatan seseorang karena keyakinan yang berbeda (hate speech). Selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang yang keyakinan keagamaannya disesatkan dikriminalisasi, sementara orang-orang yang jelas-jelas memberikan ancaman dengan ucapan kebencian, dibiarkan bebas dari tindakan hukum. 

Dengan demikian, penistaan agama hanya bisa kenakan kepada orang-orang yang memang jelas punya intense dan maksud merendahkan, menghina dan melecehkan keyakinan keagamaan seseorang. Keempat, RUU PUB harus mampu membuka ruang toleransi seluas-luasnya atas berbagai keanekaragaman dan perbedaan. Hal ini penting ditegaskan karena banyak aturanaturan kehidupan keagamaan yang justru mempersempit ruang toleransi yang hidup dalam masyarakat. 

Penyempitan ruang toleransi itulah yang menyuburkan tindak kekerasan dan intoleransi yang beberapa tahun terkahir ini banyak terjadi. Yang penulis maksud dengan memperluas ruang toleransi adalah adanya regulasi yang mampu memberikan perlindungan maksimal atas keyakinan keagamaan dan berbagai bentuk ekspresinya di satu sisi, dan tidak mudah digunakan kelompok-kelompok intoleran untuk melegitimasi tindakan intoleransinya. 

Regulasi terkait pendirian tempat ibadah atau tata cara penyiaran agama harus diletakkan dalam konteks ini. Sedetail apapun tentang Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 9 dan 8 Tahun 2006yangdidalamnya mengatur tata cara pendirian tempat ibadah, tapi karena ruang toleransi dipersempit, maka aturan ini tetap menimbulkan banyak persoalan di lapangan. 

Demikian juga dengan tata cara penyiaran agama yang diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978, lebih bernuansa mengatur kompetisi merekrut pemeluk agama daripada memperluas arena toleransi dalam kehidupan beragama. Nah, menurunnya intoleransi merupakan buah atau hasil dari perluasan arena toleransi tersebut disertai dengan penegakan hukum yang konsisten.

 

Angka intoleransi yang tinggi beberapa tahun terakhir merupakan buah dari regulasi yang mempersempit ruang toleransi dan penegakan hukum yang jauh dari semangat keadilan dan perlindungan keyakinan keagamaan. Kelima,RUU PUB harus bisa mereformasi dan merevisi sejumlah regulasi keagamaan yang sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, bukan sekedar mengkompilasi berbagai regulasi keagamaan kemudian dinaikkan statusnya menjadi undang-undang. 

Sebagai contoh terkait dengan penodaan agama. Dalam putusan Mhkamah Konstitusi NO. 140/PUU-VII/2009, meskipun MK memutuskan delik penodaan agama tidak bertentangan dengan konstitusi, tapi MK juga menyetujui perlunya memperbaiki rumusan delik penodaan agama baik pada lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materiil yang jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik seperti yang sekarang ini sering terjadi. 

Demikianlah, bila arah perumusan RUU KUB bisa digerakkan ke arah ini, penulis yakin Indonesia akan semakin terhormat di mata dunia internasional, dan situasi kehidupan beragama kita semakin baik.

 

RUMADI AHMAD
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Peneliti Senior the WAHID Institute

 
27
Jan 2015

Opini, oleh Cahyati

KH. Abdurrahman Wahid atau yang sering disapa Gus Dur pernah bilang: “Nggak boleh lagi ada pembeda bagi setiap warga Negara Indonesia karena alasan agama, bahasa ibu, kebudayaan atau ideologi”. Setuju nggak tuh? Of course, jawabannya pasti berbeda-beda. Tapi yang jelas, untuk yang sudah paham pentingnya toleransi pasti akan bilang: “Toleransi itu gue banget!”

 

Ya, dalam kehidupan di dunia yang penuh keragaman ini, sikap toleransi atau sikap saling menghormati, menghargai, dan menerima semua hal yang berbeda itu sangat kita butuhkan, karena tidak mungkin segala hal itu sama. Yang namanya perbedaan, pasti akan selalu ada. Dan hal inilah yang membuat kehidupan ini penuh warna. Tinggal bagaimana kita bisa mengambil hikmah dan menjadi seseorang yang bisa hidup rukun dengan yang lainnya. Whoever and wherever it.

 

Negara Indonesia tercinta ini juga punya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Beda agama, suku, budaya, bahasa, tapi tetap satu tujuan. Tujuan itu adalah persatuan bangsa. Seandainya saja semua warga Indonesia memegang kuat dan menjalankan maksud dari semboyan itu, rasanya hidup ini sangat indah. Tidak ada lagi perpecahan antar yang berbeda. Tapi, kalau kita lihat nyatanya, masih banyak banget kerenggangan di antara masyarakat Indonesia, terutama antar umat beragama, baik yang Islam dengan Kristen maupun lainnya. Dan, akhirnya sering timbul fitnah, kesalahfahaman dan ketakutan.

 

Sebenarnya semua itu terjadi karena tidak adanya sikap saling toleransi, saling terbuka, dan mencoba bisa hadir di tengah-tengah mereka. Padahal ajaran toleransi juga nggak cuma diajarkan dalam Islam. Agama yang lainpun pasti ngajarin umatnya untuk hidup berdampingan dengan yang berbeda, tolong-menolong, hidup rukun, dan sebagainya. Seharusnya kita sadar, walaupun agama kita berbeda, tapi perlu kompak. Lalu, apalagi alasan kita tidak bertoleran? Masalah kepercayaan, itu adalah hubungan pribadi masing-masing dengan pencipta. Kita tidak boleh mengusiknya. Tapi, tentu saja, hubungan antar sesama harus kita jalin dan kita perkuat.

 

Biarkan agama beda, tapi persahabatan harus jalan terus. Bisa nggak? Ya, harus bisa dong! Itu gampang kok. Asalkan kita mau menerima perbedaan dan positive thinking.

 

Kebanyakan orang yang tidak mau berdampingan dengan orang yang “berbeda”, salah satu sebabnya itu adalah rasa kekhawatiran dan pikiran negatif yang belum tentu benar. Padahal, kalau kita mau membuka pintu untuk mereka, dengan sikap yang baik, mereka juga akan welcome.

 

Saya termasuk orang yang sudah membuktikan. Ternyata, berteman dengan orang yang beda agama atau yang tidak punya agama sekalipun, tidak ada bedanya dengan berteman sama sesama muslim. Masih bisa curhat, tertawa bareng, nge-gosip bareng, saling berbagi kabar dan pengetahuan. Semuanya terasa hangat. Yang paling penting, jangan pernah kita mempermasalahin urusan keyakinan, karena kita tidak boleh memaksa atas hak orang lain. Ingat, Allah SWT berfirman dalam Surah al-Baqarah ayat 256: “Laa ikraaha fi al-diin (tidak ada paksaan dalam beragama).

 

Dengan kita bertoleran, kita jadi bisa lebih banyak wawasan. Bahkan kitapun bisa kerja sama dengan mereka yang berbeda. Baik itu dalam berkarya dan lain sebagainya. Sama atau beda, tetap bisa bergandengan. Dan kita harus saling tolong-menolong dan bergotong-royong. Kalau mau berbuat baik, tentu tidak mesti dengan sesama terus. Dengan saudara kita yang berbeda pun kita harus berbuat baik dan bersikap baik. Seperti yang dibilang Gus Dur: “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan kebaikan untuk semua orang, orang tidak pernah bertanya apa agamamu”.

 

Berbuat baik itu tidak mesti milih-milih orang. Mau yang berkulit putih atau hitam, agamanya Islam atau Kristen, atau dengan yang tidak punya agama sekalipun, sama saja.

 

Dengan kita mau bertoleransi, secara tidak langsung, kita sudah membuka pintu kedamaian buat dunia ini. Satu sama lain bisa saling menghargai, menghormati, dan saling melindungi. Sekarang sudah bukan trend-nya rusuh-rusuhan. Lagi pula, rusuh itu ribet. Damai itu baru seru.

 

Semoga kita bisa hidup rukun dan saling menyayangi antar sesama, maupun yang berbeda. Karena rukun beragama adalah gaya hidup yang hebat. Dan harus kita tau, dalam damai itu ada masa depan. Dengan damai kita bisa melakukan segala progres dengan baik. And the last, beda is not badWa Allahu a’lam.

 

Cikulur, 23 Januari 2015

 

Cahyati adalah Santri Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak, Banten, Ketua Santri Puteri Qothrotul Falah 2014-2015, Aktivis Peace Leader Qothrotul Falah, Penyiar Radio Qi FM 107.07, dan Anggota Halqah Triping Community. Karyanya bersama santri-santri Pondok Pesantren Qothrotul Falah diterbitkan Pustaka Qi Falah dengan judul Renungan Santri: Esai-esai Seputar Problematika Remaja (2014).

 
07
Jan 2015

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

DALAM dua bulan masa kepemimpinannya, mungkin terlalu cepat meminta Presiden Jokowi membuktikan janji kampanyenya untuk mengatasi kasus-kasus intoleransi. Selain kasus-kasus yang tak selesai pada masa pemerintahan sebelumnya, Jokowi menghadapi kasus-kasus baru pada awal era kekuasaannya. Ini pekerjaan rumah yang pelik sekaligus membutuhkan keberanian.

 

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan the Wahid Institute Tahun 2014, yang dirilis baru-baru ini, mencatat dalam dua bulan (November-Desember) masa pemerintahan Jokowi, terdapat 14 peristiwa pelanggaran yang melibatkan aktor negara, dan 10 peristiwa melibatkan aktor non-negara. Contohnya, intimidasi massa intoleran dan larangan Satpol PP terhadap jemaat GKI Yasmin Bogor untuk beribadah. Di Ibu Kota, pelantikan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama ditolak dan menjadi korban penyebaran kebencian (hate speech).


Intoleransi diartikan sebagai setiap perbedaan, pengecualian, pembatasan, atau preferensi berdasarkan agama atau kepercayaan dan yang mempunyai tujuan atau membawa akibat hilang atau rusaknya pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi dan kebebasan atas dasar yang setara. Bentuk tindakan intoleransi beraneka ragam, dari kekerasan dalam bahasa dan perkataan seperti bullying, penyesatan, diskriminasi lewat regulasi, pengusiran (expulsion), hingga destruksi. 

Intoleransi jelas melanggar kebebasan sebagai hak dasar. Dalam soal hak dasar ini, negara punya tiga kewajiban utama yang mesti ditunaikan agar kebebasan tersebut tetap terjaga: menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect). Inilah tiga alat ukur melihat pro-tidaknya sebuah pemerintah terhadap prinsip kebebasan beragama.

Jika membaca "Visi Misi, dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014", sebagian besar publik menaruh harapan besar bahwa kepemimpinan baru ini bakal melunasi-meminjam judul laporan the Wahid Institute-"utang" warisan pemerintah sebelumnya dalam kasus-kasus intoleransi. Hanya, harapan ini tentu masih harus dibuktikan. Setidaknya, kita mencatat, sejauh ini belum kita dengar Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan langsung, setidaknya untuk nasib pengungsi Ahmadiyah, pengungsi Syiah Sampang, atau jemaat gereja-geraja yang disegel pemerintah.

Ada banyak langkah ideal dalam visi-misi yang populer disebut Nawacita ini. Misalnya menempatkan intoleransi sebagai masalah pokok bangsa ketiga setelah merosotnya kewibawaan negara dan melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional. Intoleransi ditulis dalam alinea keenam dari 41 halaman visi-misi ini. Penempatan redaksional semacam itu jelas hendak menunjukkan bobot pesan. "Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi. Negara abai dalam menghormati dan mengelola keragaman dan perbedaan yang menjadi karakter Indonesia sebagai bangsa yang majemuk." Begitu bunyi salah satu kutipan dalam alenia keenam ini.

Untuk mengatasi kasus-kasus intoleransi, ada sejumlah langkah yang menjadi janji Jokowi-JK. Salah satunya adalah "menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan, termasuk perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas." Meski tak menyatakan langsung kelompok minoritas, istilah ini jelas merujuk pula pada kelompok minoritas agama/keyakinan seperti agama-agama di luar yang enam dan sekte minoritas. Minoritas ini dipahami bukan semata-mata merujuk jumlah-seperti banyak disalahpahami. Minoritas juga sangat berkaitan dengan "relasi kekuasaan" yang dimiliki. Bisa jadi jumlahnya kecil, namun punya kekuasaan besar atau sebaliknya. Jadi, tidak mengherankan muslim minoritas-yang di level nasional merupakan mayoritas-di sejumlah daerah justru menjadi korban intoleransi. Misalnya kasus siswa muslimah salah satu sekolah di Bali yang dilarang mengenakan jilbab dan panitia masjid di Batuplat NTT yang sulit mendapat izin. Jadi, intoleransi bukan masalah agama tertentu, tapi semua agama.

Di tingkat nasional masih ada peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Korban pada umumnya kelompok minoritas. UU PNPS 1965, UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan masih menggunakan istilah "agama yang belum diakui". Peraturan Bersama No 9 Tahun 2006 yang mengatur Pendirian Rumah Ibadah juga menjadi contohnya. 

Sementara itu, di tingkat lokal, ratusan perda diskriminatif dan peraturan kepala daerah yang diskriminatif hingga saat ini juga belum dicabut atau direvisi. Kajian Komnas Perempuan, misalnya, mencatat 342 kebijakan diskriminatif lahir sepanjang 2013. Hasil kajian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat terdapat 15 peraturan kepala daerah yang melarang aktivitas jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). 

Meski akan mendapat tentangan, langkah Jokowi-JK yang jika sesegera mungkin "menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan" itu pasti akan menjadi langkah terobosan di tengah kebekuan yang ada. Hal ini akan membedakannya dengan pemerintah sebelumnya. *

 

Alamsyah M. Dja'far, Peneliti the Wahid Institute

Dimuat di TEMPO

 
<< Mulai < Sebelumnya 1 2 3 Selanjutnya > Akhir >>