30
May 2014
Alamsyah M. Dja'far

Undang-undang mewajibkan pejabat dan penyelenggara negara menunaikan tugas “tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan”. Di pidato-pidato para pejabat dan buku-buku pelajar, prinsip itu disebut berulang-ulang mirip pengumunan di stasiun kereta api. Tapi, mungkin Sutardji Calzoum Bachri benar. “Hidup adalah apa yang ada di luar buku,” kata presiden penyair Indonesia itu dalam “Menulis” (1970). Hidup kadang tak seideal apa yang ada di teks pidato dan buku-buku.

Jika melongok laporan lembaga pemantau kasus-kasus kebebasan beragama, toh sejumlah pejabat jadi actor intoleransi. Sejumlah pejabat mengeluarkan pernyataan dan tindakan intoleran dan diskriminatif. Laporan the Wahid Institute 2013, misalnya, menyebut seorang menteri yang menyesatkan Ahmadiyah dan minta mereka membuat agama baru saja. Agama baru, katanya, jalan terbaik agar kekerasan selesai.

Seorang menteri lainnya setuju dengan desakan massa. Seorang lurah dipindah karena berbeda agama dengan mayoritas agama yang dianut warganya. Pejabat lain lagi menyatakan pastur yang melempar kritik pedas pada presiden untuk tak mencampuri masalah mayoritas muslim.

Perilaku pejabat-pejabat di atas seperti tengah mengumumkan agar warga negara yang dipimpinnya melakukan tindakan serupa. Semakin pejabat-pejabat itu melakukannya, warga negara akan makin “terlatih” meniru.

Saya tak yakin pejabat-pejabat ini tak tahu usia penyakit intoleransi setua peradaban manusia. Penyakit ini jelas-jelas dihadapi di hampir semua negara di dunia. “Di pojok dunia ini tak ada yang bebas dari cemoohan,” kata psikolog Harvard University Gordon Willard Allport dalam karyanya yang tersohor The Nature of Prejudice.

Seperti jaring laba-laba, 197 negara di planet ini menghadapi kasus-kasus intoleransi dengan beragam tingkatan. Menurut survei Pew Forum, lembaga riset yang berbasis di Amerika, Indonesia menempati peringkat ke-15 dalam kategori negara-negara “very high” dalam Indeks Permusuhan Sosial (The Social Hostilities Index). Survei ini Indonesia masih di atas Rusia (13) dan Arab Saudi (14). Peringkat pertama diduduki Pakistan.

Lantaran ini masalah “umum”, tidakkah semestinya setiap pejabat negara sadar lalu lebih kreatif dan serius mencari jalan keluar. Kita tentu tak ingin jatuh di kubangan yang sama, berkali-kali.

Kesadaran itu pertama-pertama harus muncul dari keyakinan, intoleransi selalu dimulai dari hal yang kadang dianggap remeh-temeh. Penggunaan kata sesat, menodai agama dan perilaku diskriminatif alias pembedaan, salah satunya. Jika tak bisa direm, dibiarkan, terjadi berulang-ulang, apalagi bercampur politik kekuasaan, ia bisa meledak dalam bentuk paling ekstrem: pembasmian.

Di Rwanda pada 1994, intoleransi yang mengakar berubah jadi pembantaian. Lebih dari 8 ribu orang mati. Kebanyakan dari Tutsi, suku minoritas di negeri berpenduduk 7 juta jiwa itu. Politik kekuasaanlah biang kerok semua itu.  Demi menekan perlawanan oposisi, elit penguasa yang dikuasi etnis mayoritas Hutu, menyebar strategi kebencian dan ketakutan teradap suku minoritas Tutsi. “Kecoak”, kata yang untuk Tutsi.

Intoleransi Muslim-Kristen di Republik Afrika Tengah pada 2013 meletus jadi kekerasan antaragama. Sebuah laporan menyebut, dalam sebulan konflik menewaskan sekitar 1.000 orang. Ratusan ribu kehilangan tempat tinggal dan mengungsi.

Meski dampaknya jauh lebih kecil dibanding dua kasus di atas, intoleransi sudah membuat komunitas Ahmadiyah dan Syiah hidup sebagai pengungsi hingga saat ini. Tragedi Cikeusik menyebabkan 3 orang Ahmadiyah tewas dengan cara tragis.

Tantangan terberat menaklukan intoleransi memang karena ia mendekam dan bersumber dalam pikiran, bukan sekedar sikap atau tindakan. Akarnya sikap yang abai pada nilai-nilai kemanusiaaan. Intoleransi menolak kenyataan budaya dunia ini begitu beragam, begitupun dengan bentuk-bentuk ekspresi dan cara-cara menjadi manusia (being human). Intoleransi muncul dari prasangka buruk dan pembedaan-pembedaan karena agama, etnis, atau sekat lain. Karenanya, intoleransi harus dinyatakan sebagai penyakit sosial yang mengancam kehidupan (a life-threatening social illness).

Tapi pikiran memang sulit diberangus. Peraturan perundang-undangan juga hanya bisa membatasi tindakan intoleran, bukan pikiran-pikirannya. Tapi pikiran bisa diubah. Selain dialog dan bertukar pikiran, pejabat yang diskriminatif dan dinilai tidak toleran bisa diubah pula dengan protes atau menempuh langkah hukum. Meski perubahan itu dinilai politis, menteri yang sering dikritik itu belakangan berusaha mengambil langkah agar dianggap menteri yang toleran. Itu juga perubahan.

Di level masyarakat, pikiran intoleran dapat diubah lewat pertarungan gagasan, dialog, dan pendidikan yang membebaskan. Inilah jalan paling strategis untuk mengatasi masalah dalam jangka pandang. “Masyarakat umum sebagai satu kesatuan, kebaikan atau kejahatannya, akan ditentukan oleh proses apapun yang berlangsung di dalam pikiran individu,” kata filosof kelahiran California Amerika Serikat Josiah Royce dalam the Basic Writing of Josiah Royce.

Dari perubahan pikiran intoleran ini diharapkan lahir kebiasaan-kebiasaan baru. Misalnya mari mengurangi istilah-istilah, kata-kata yang berburuk sangka, pelabelan negatif, dan stereotip. Kita mesti bekerja untuk tak mudah menyesatkan, bahkan menggantinya dengan dialog dan konfirmasi. Kata “berbeda” lebih positif dan produktif bagi budaya toleransi ketimbang menyebut “sesat”.

Maka kita pun berharap, dengan perubahan ini, public makin kritis terhadap pejabat-pejabat diskriminatif dan intoleran. Dan pemilu presiden merupakan saat paling tepat untuk mengingatkan mereka. []

Penulis adalah peneliti the Wahid Institute dan pengajar pada Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon

Pernah dimuat di satuharapan.com Senin, 12 Mei 2014

6860
 

Add comment


Security code
Refresh